Oleh Martina Rini S. Tasmin, SPsi.
Jakarta, 8 Maret 2002
Bagi sebagian ibu, dialog di atas mungkin terdengar sangat familiar di telinga ketika jam makan anak-anak telah tiba. Memberi makan kepada anak-anak balita terkadang memang menyulitkan. Anak tidak selalu menyukai apa yang diberikan kepada mereka. Mereka cenderung lebih menyukai makanan ringan berupa makanan yang manis (seperti permen, biskuit), makanan junk food (biasanya dalam bentuk makan siap saji seperti hamburger, fried chicken, french fries), dan makanan yang tasty (misalnya chiky, cheetos) dibandingkan makanan utama yang berupa nasi dan lauk pauknya.
Menghadapi situasi diatas orangtua biasanya menggunakan berbagai cara untuk membuat agar anaknya mau makan, bahkan seringkali sampai merasa perlu untuk memaksa anak, apalagi orangtua dari anak-anak yang bertubuh mungil. Orangtua mungkin beranggapan bahwa tubuh mungilnya itu terbentuk karena anaknya kurang makan dan gizi. Nah, gimana caranya menyiasati agar anak mau makan makanan yang disediakan oleh orangtua?
Komponen Utama Sumber Energi
Untuk perkembangan tubuh dan energi anak membutuhkan sejumlah kalori. Kebutuhan kalori ini dipenuhi dari nutrisi, yaitu protein, karbohidrat dan lemak. Protein berguna untuk membentuk struktur sel-sel tubuh. Protein banyak terkandung dalam makanan yang terbuat dari tumbuhan maupun hewan, contohnya ikan, susu, keju, kacang dan tepung. Karbohidrat berguna sebagai energi yang diperlukan untuk beraktivitas dan proses-proses penting yang terjadi di dalam tubuh. Karbohidrat terkandung dalam gandum, kacang-kacangan, kentang, beras, buah-buahan, gula dan madu. Lemak juga berguna sebagai sumber energi. Lemak banyak terkandung dalam susu, kacang-kacangan, mentega dan minyak.
Selain membutuhkan nutrisi, tubuh juga membutuhkan vitamin, mineral dan serat. Vitamin, mineral dan serat penting untuk menjaga kesehatan tubuh. Semua makanan pada umumnya mengandung setidaknya satu unsur nutrisi yang dibutuhkan dan dapat juga mengandung vitamin, mineral dan serat. Unsur-unsur inilah yang seringkali disebut dengan istilah Gizi (nutrisi, vitamin, mineral dan serat).
Bagaimana dengan makanan siap saji atau junk food? Junk food yang disukai anak-anak sebenarnya bukanlah makanan yang tidak ada faedahnya sama sekali. Contohnya hamburger, mengandung protein dan lemak, sumber zat besi dan vitamin B yang baik buat anak. Namun perlu diingat bahwa lemak dan protein yang terkandung dalam hamburger melebihi jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh. Oleh karena itu jika anak menyukai junk food, tidak ada salahnya sekali-kali diberikan, namun sangat dianjurkan untuk tidak mengkonsumsinya secara berlebihan. Jika hal itu sampai terjadi maka akan berpengaruh kurang baik bagi kesehatan karena asupan gizi yang diperoleh tidak seimbang, dan juga memicu terjadinya obesitas/kegemukan.
Mengapa Anak Menolak Makan?
Papalia (1995), salah seorang ahli perkembangan manusia, mengungkapkan bahwa pada usia 0-3 tahun perkembangan fisik dan otak anak berlangsung paling pesat/growth spurt, karena itu tubuh membutuhkan gizi yang banyak, sehingga biasanya anak memiliki nafsu makan yang baik. Setelah usia 3 tahun, perkembangan tubuh tidak lagi sepesat sebelumnya, kebutuhan tubuh akan makanan menurun dan biasanya diikuti nafsu makan anak yang juga menurun. Oleh karena itu dibutuhkan kreativitas dari orangtua agar anak jangan sampai kekurangan gizi akibat tidak mau makan.
Illingworth (1991), seorang ahli kesehatan anak, mengutarakan beberapa hal-hal yang menurut pengamatannya dapat menjadi penyebab anak tidak mau makan:
Memakan kudapan diantara jam makan, akibatnya tubuh masih berkecukupan dengan nutrisi yang berasal dari kudapan tersebut, sehingga anak tidak merasa lapar
Perkembangan ego sang anak; anak menolak makan sebagai manifestasi dari perkembangan sikap mandiri. Anak merasa sebagai individu yang terpisah dari orangtua, sehingga menolak bentuk dominasi orangtua
Anak ingin mencoba kemampuan yang baru dimilikinya yaitu mencoba makan sendiri tetapi orangtua melarangnya melakukan hal tersebut
Menu tidak bervariasi sehingga anak merasa bosan dengan makanan yang terhidang atau bentuk makanan tidak menarik
Anak sedang merasa tidak bahagia, sedih, depressi atau merasa tidak aman/nyaman
Anak sedang sakit
Sementara itu, bentuk penolakan yang dilakukan anak dapat berupa:
Memuntahkan makanan
Makan berlama-lama dan memainkan makanan. Pada tahapan usia 9 bulan-2,5 tahun memang masih merupakan suatu hal yang wajar jika anak makan berlama-lama karena ia belum mengenal konsep waktu. Namun jika anak telah berumur lebih dari usia tersebut, tetapi masih makan berlama-lama dan memainkan makanannya maka hal tersebut tidak lagi dapat disebut wajar/normal tetapi merupakan suatu cara anak untuk menarik perhatian dan menentang dominasi orangtua.
Sama sekali tidak mau makan
Menumpahkan makanan
Menepis suapan dari orangtua
Tindakan Keliru yang Seringkali Dilakukan Orangtua
Beberapa tindakan yang sebenarnya keliru yang seringkali dilakukan orangtua dalam menghadapi situasi diatas misalnya:
Membujuk. Misalnya dengan kata-kata: "makan sayur bayamnya ya, biar kuat seperti popeye", "kalau makannya habis nanti mama bilang sama papa kalau anak mama dan papa pintar loh", dll.
Mengalihkan perhatian, misalnya: anak disuapi makan sambil menonton film atau sambil bermain-main
Memberi janji, misalnya: "kalau makannya habis, nanti mama belikan ice cream"
Mengancam, misalnya: kalau makannya tidak habis, nanti kalau ke dokter disuntik loh"
Memaksa, misalnya anak dipaksa membuka mulut lalu dijejali makanan
Menghukum, misalnya anak yang tidak mau makan langsung dipukul atau diperintahkan masuk kamar
Membolehkan anak untuk memilih menu makanan yang diingininya. Dalam hal ini orangtua biasanya akan langsung mengganti menu jika anak mengatakan bahwa ia tidak menyukai menu yang dihidangkan.
Tindakan yang Sebaiknya Dilakukan Orangtua
Dengan mengetahui bahwa nafsu makan anak digerakkan oleh jumlah makanan yang dibutuhkan tubuh, orangtua seharusnya menjaga nafsu makan anak dan memastikan bahwa anak mendapatkan kebutuhan tubuhnya. Para ahli psikologi anak sama sekali tidak menyarankan anak dipaksa untuk makan apapun penyebabnya, karena semakin dipaksa anak akan semakin memberontak.
Lalu apa tindakan yang sebaiknya dilakukan oleh orangtua untuk membuat anak mau makan dan tidak kekurangan sumber energi yang dibutuhkan tubuhnya? Berikut ini beberapa saran yang dapat anda lakukan jika menghadapi anak yang sulit makan:
Kurangi kudapan atau tidak memberikan kudapan sama sekali di antara jam makan. Termasuk di sini adalah pemberian susu kepada anak. Bagi anak yang memiliki nafsu makan sangat baik, pemberian kudapan maupun susu diantara jam makan masih diperbolehkan, tetapi harus dilakukan dengan jadwal tetap dan dosistepat sehingga tidak terjadi obesitas.
Menghidangkan menu yang bervariasi. Sama seperti orang dewasa, jika hampir setiap hari diberikan menu yang sama, maka anak akan bosan (meskipun menu yang diberikan merupakan menu favorit anak tersebut). Oleh karena itu, orangtua harus jeli dan pintar untuk memberikan menu yang bervariasi kepada anak. Misalnya: jika anak sudah sering diberi ikan cobalah mengganti ikan dengan ayam atau daging atau dapat pula diganti cara memasaknya.
Mempercantik tampilan makanan. Contohnya, dalam sebuah iklan di TV, ada orangtua yang menghidangkan nasi goreng dengan diberi gambar wajah, mata yang terbuat dari tomat, bibir dari sosis, dan hidung dari ketimun. Penampilan nasi goreng yang seperti ini akan lebih menarik perhatian bagi anak daripada nasi goreng yang terhidang begitu saja di piring tanpa hiasan.
Saat anak sedang merasa sedih, cobalah untuk terlebih dahulu membuat perasaan anak lebih baik dengan menunjukkan kasih sayang dan mencoba mengerti penyebab mengapa anak merasa sedih. Contoh: anak sedih karena kematian anjing yang disayanginya, maka bisa dihibur dengan mengatakan bahwa "anjingnya sekarang sudah sembuh, tidak akan pernah sakit lagi di tempat yang baru".
Biarkan anak makan sendiri. Jangan takut dengan kekotoran yang disebabkan anak makan sendiri, karena yang penting di sini adalah anak merasa mampu, dipercaya oleh orangtua, semakin mandiri dan kemampuan motoriknya juga akan terlatih dan berkembang baik.
Jangan memburu-buru anak agar makan dengan cepat. Anak yang makannya berlama-lama, tidak perlu diburu-buru. Jika semua sudah selesai makan, meja sudah dibersihkan dan anak masih bermain dengan makanannya, maka sebaiknya makanannya disingkirkan. Anak mungkin akan merasa marah, jika hal ini terjadi orangtua tidak perlu berdebat ataupun memarahi anak, berikan perpanjangan waktu yang cukup, jika perpanjangan waktu sudah selesai maka makanan benar-benar ditarik dan tidak diberikan perpanjangan waktu lagi. Dengan demikian anak akan mengerti ada waktu untuk makan.
Tidak perlu setiap kali mengikuti keinginan anak dengan mengganti menu sesuai keinginannya, karena mungkin saja ketidaksukaannya disebabkan keinginan menentang dominasi orangtua. Sebaiknya tanamkan kesadaran pada anak bahwa makan adalah tugasnya, dengan tidak memuji jika makanan dihabiskan, dan juga tidak memarahi, mengancam, membujuk, menghukum, atau memberi label anak sebagai anak nakal jika makanannya tidak dihabiskan/tidak mau makan.
Jika anak tidak mau makan dan si anak berada dalam keadaan sehat, tidak apa-apa, singkirkan saja makanan dari meja makan, dan anak tidak perlu diberikan kudapan apapun di antara waktu makan utamanya. Dengan demikian, ketika tiba waktu makan selanjutnya anak akan merasa lapar (bukan kelaparan) dan ia pasti akan makan apapun yang dihidangkan.
Tidak perlu memberikan porsi yang banyak kepada anak, sehingga sulit dihabiskan. Lebih baik memberikan porsi yang sedang, jika anak merasa kurang, ia boleh minta tambah.
Berikan makanan secara bertahap sesuai jenis dan kandungan gizi satu persatu, mulai dari yang mengandung banyak zat besi dan protein (misalnya daging), sampai terakhir jenis yang kurang penting (misalnya puding sebagai penutup mulut). Jika anak merasa sudah kenyang sebelum sampai pada makanan tahap berikutnya, orangtua tidak perlu lagi memaksa anak untuk makan
Reaksi orangtua akan menentukan arah dan proses pembelajaran anak terhadap berbagai hal sampai mereka menemukan kesadaran dan tanggungjawab secara internal. Jika reaksi orangtua menguatkan perilaku sulit makan, maka yang terjadi kemudian adalah anak menjadi sulit makan. sebaliknya jika reaksi orangtua menguatkan perilaku mudah makan, maka anak mudah makan. Satu hal yang sebaiknya diingat orangtua adalah tidak mudah untuk selalu merespon perilaku anak secara tepat. Tulisan ini mungkin dapat menjadi suatu informasi yang berguna bagi anda para orangtua yang peduli terhadap kesejahteraan anaknya. Selamat mencoba
Diposting oleh Jogja Parenting Club di 5:23 AM 0 komentar
Label: MPASI, Parenting
Waspadai Kebiasaan Jajan pada Anak
Sekarang ini anak-anak sudah sangat terbiasa dengan jajan. Karena dibekali uang oleh orangtuanya, anak terbiasa jajan sembarangan.
Kebiasaan jajan bisa berakibat fatal karena sekarang ini banyak ditemukan kandungan bahan kimia berbahaya pada makanan anak-anak.
Bekal uang jajan biasanya diberikan oleh orangtua yang sibuk bekerja. Mereka tidak sempat menyiapkan makanan buatan sendiri untuk anak-anaknya.
Ada juga orangtua yang gemar membeli makanan siap saji atau makanan dalam kemasan untuk bekal anaknya. Padahal, makanan semacam itu biasanya mengandung banyak gula atau penyedap rasa.
Seorang ibu, sebut saja Melani (31), setiap tiga hari sekali selalu membeli bekal di supermarket untuk anaknya yang masih balita. Ia tidak pernah lupa untuk membeli wafer cokelat, minuman susu dalam kemasan, dan permen cokelat kecil-kecil yang berwarna-warni.
"Ini makanan kesukaan anak saya," tutur Melani yang tinggal di kawasan Tangerang, Banten. Sebagai ibu yang bekerja, Melani memang tidak sempat membuatkan bekal untuk anaknya. Ia harus berangkat pagi-pagi sekali agar tidak terlambat sampai ke kantornya di Jakarta.
Psikolog Mayke Tedjasaputra dari Universitas Indonesia mengungkapkan, budaya ingin serba cepat memengaruhi sikap anak, termasuk kebiasaan mereka untuk jajan. Menurut Mayke, pola jajan pada anak terbentuk melalui pembiasaan.
Orangtua yang sering jajan akan "melahirkan" anak-anak yang suka jajan. Semula anak meniru orangtuanya yang suka jajan. Di sekolah, mereka meniru teman-temannya yang juga suka jajan.
Perilaku ini semakin kuat karena dukungan lingkungan, seperti keberadaan penjual makanan di kantin atau di sekitar sekolah. Penjual makanan keliling yang lewat di depan rumah juga mendorong anak untuk jajan.
Mayke mengatakan, para ibu masa kini banyak yang bekerja di luar rumah. Mereka lalu merasa tidak punya waktu untuk membuat bekal makanan. Faktor harga yang lebih murah juga mendorong orangtua untuk membeli makanan siap saji daripada harus membuat sendiri.
"Ini berbeda dengan zaman dulu ketika para orangtua harus membuat sendiri segala sesuatu yang dibutuhkan untuk hidup sehari-hari, mulai dari pakaian, perlengkapan rumah, hingga makanan," tutur Mayke.
Kebiasaan orangtua mengajak anak-anaknya "makan di luar" setiap akhir pekan, menurut Mayke, juga bisa mendorong perilaku senang jajan. Anak jadi punya anggapan bahwa makan di mal, restoran, atau warung sebagai bentuk rekreasi.
Kurang variasi
Faktor lain yang menyebabkan anak suka jajan adalah kurang bervariasinya makanan di rumah. Anak menjadi bosan dengan makanan yang disiapkan di rumah lalu tergiur dengan jajanan.
Kebiasaan jajan ini lalu diperkuat oleh lingkungan, terutama di permukiman padat penduduk. Ketika salah satu anak tetangga jajan, anak-anak lain tidak mau kalah. Mereka lalu meminta jajan kepada orangtuanya dan menangis kalau tidak diberi. Orangtua merasa tidak tega dan akhirnya memberi jajan kepada anaknya.
Dampak negatif muncul pada anak yang sering jajan. Anak menjadi enggan makan, terutama bila mereka jajan berdekatan dengan waktu makan. Anak juga tidak punya selera terhadap makanan rumah karena mereka terbiasa jajan. Sering kita melihat orangtua terpaksa menyuap anaknya sambil memberikan camilan agar anaknya mau makan.
Mayke mengungkapkan, orangtua punya tanggung jawab membentuk kebiasaan positif kepada anak meskipun mereka sibuk bekerja. Mayke menyarankan agar orangtua tetap menyempatkan diri membuat bekal makanan sendiri.
"Orangtua bisa bangun lebih pagi untuk menyiapkan bekal. Atau segala sesuatunya sudah disiapkan malam harinya sehingga pagi tinggal menyelesaikan pekerjaan akhir saja," lanjutnya.
Menurut Mayke, menyiapkan bekal tidak harus dilakukan oleh ibu, tetapi juga bisa dilakukan oleh ayah. Usaha orangtua menyiapkan bekal anak juga berpengaruh positif terhadap jiwa anak. Anak merasa diperhatikan karena orangtua mau bersusah payah membuatkan makanan untuknya. (Lusiana Indriasari)
dari Kompas Cyber Media
Wednesday, October 22, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment